Memahami dan Menulis Berita [3]

UNSUR-UNSUR BERITA

Oleh Enjang Muhaemin

Foto: Dok. At-Tausyiah Institute
Deskripsi tentang berita tampaknya mulai tergambar dengan jelas. Kendati mendefinisikan berita tidak mudah, nyaris sama tidak mudahnya dengan mendefinisikan wanita cantik nan seksi, namun dengan melihat, menatap, dan memperhatikan contoh dan bukti fisiknya, maka tentunya gambaran tentang apa itu berita semakin kita pahami secara baik.



Para praktisi media, juga demikian di dalam memahami berita. Umumnya tidak mudah menjelaskan definisinya, namun akan sangat gampang ketika ia diharuskan untuk menunjuk mana berita dan mana yang bukan berita.Bagi seorang wartawan, mengenal berita saja tentu tidaklah cukup. Ia juga harus memahami unsur kelayakan sebuah berita, yakni unsur yang harus ada dalam sebuah berita. Ini penting, agar berita yang dipilih benar-benar penting dan memiliki daya tarik bagi khalayak media massa. Unsur-unsur yang dapat menarik minat khalayak media massa inilah yang disebut unsur-unsur kelayakan sebuah berita.

Titik tekan dan penekanan unsur berita, sebagai penentu tingkatan nilai atas kualitas berita senantiasa mengalami perubahan. Dan diskursus tentang nilai berita ini, sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Wacana tentang ini diulas Hikmat dan Purnama Kusumaningrat secara menarik dalam bukunya Jurnalistik, Teori & Praktik. Berikut adalah ringkasannya: Christian Weise, tahun 1676 berpendapat, ketika menyeleksi berita harus dipisahkan antara yang benar dan yang palsu. Pada tahun 1688, Daniel Hartnack malah menekankan pada unsur pentingnya peristiwa. Dalam kata lain, yang menentukan nilai suatu berita untuk diinformasikan kepada khalayak media massa bukan pada unsur dampak (consequence) dari sebuah peristiwa, tetapi pada unsur pentingnya peristiwa tersebut untuk dilaporkan.

Pada tahun 1690, Tobias Peucer, penulis disertasi tentang penerbitan di Jerman saat itu menyebut beberapa kriteria yang menentukan nilai kelayakan berita pada masa itu, di antaranya: Pertama, tanda-tanda yang tidak lazim, benda-benda yang ganjil, hasil kerja dan produk seni yang hebat dan tidak biasa, banjir atau badai yang disertai petir dan guruh yang mengerikan, gempa bumi, sesuatu yang aneh dan muncul dengan tiba-tiba dari langit, dan penemuan-penemuan baru, yang pada abad itu sangat banyak terjadi.

Kedua, berbagai jenis keadaan, perubahan, perubahan - perubahan pemerintahan, masalah perang dan damai, sebab-sebab dan keinginan-keinginan perang, pertempuran, kekalahan, rencana-rencana para pemimpin militer, undang-undang baru, pertimbangan-pertimbangan yang disetujui, pegawai negeri, orang-orang terkenal, kelahiran dan kematian para pangeran, ahli waris harta, upacara pelantikan, pergantian jabatan atau pemecatan, kematian orang-orang terkenal, akhir riwayat orang tidak ber-Tuhan, dan masalah-masalah lainnya.

Ketiga, masalah-masalah gereja dan keterpelajaran seperti asal-usul agama ini agama itu, pendiri dan kemajuannya, sekte-sekte baru, dogma-dogma yang diputuskan, ritual-ritual agama, perpecahan agama, penyiksaan, muktamar keagamaan, karya tulis para sarja, perselisihan ilmiah, karya baru terpelajar, keberanian berusaha, bencana dan kematian, serta seribu satu hal lainnya yang bertalian dengan alam, warga masyarakat, gereja dan sejarah keagamaan.

Dijelaskan lebih jauh, bahwa hal-hal biasa dan tidak menarik tidak bernilai untuk diberitakan. Untuk masalah ini, Peucer menyebut, antara lain, “kegiatan rutin manusia sehari-hari, yang hanya dibeda-bedakan oleh musim dan tidak seperti kejadian langka semisal badai yang disertai petir dan guntur.” Yang juga tidak bernilai untuk diberitakan adalah “kehidupan pribadi kaum bangsawan, seperti berburu, menjamu tamu, kunjungan ke teater… eksekusi pelaku kejahatan, spekulasi tentang urusan-urusan negara yang belum diketahui…”.

Juga yang tidak boleh diberitakan menurut Peucer adalah “apa yang merusak moral yang baik dan agama sejati, misalnya, kecabulan, kejahatan yang dilakukan dengan cara yang mengerikan, pernyataan-pernyataan yang bersifat atheis.” Inti pemikiran Peucer ialah bahwa hal-hal rutin dan biasa serta murni bersifat pribadi tidak memiliki nilai berita. Selang lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1695, Kaspar Stieler menegaskan, para penulis berita di surat kabar haruslah “orang yang dapat menceritakan hal-hal penting, dan menjauhkan diri dari hal-hal sepele.”

J. Wilke mengungkapkan, Stieler sudah menguraikan nilai-nilai berita ini secara jelas seperti kebaruan, kedekatan (proximity) geografis, implikasi dan keterkenalan (rominence) maupun negativisme. Walhasil, sejak akhir abad ke-17, para pemikir komunikasi sebenarnya sudah mampu merinci apa kriteria yang harus dipakai dalam menetapkan apakah suatu kejadian itu memiliki nilai berita atau tidak.

Dalam Jurnalistik Masa Kini, Dja’far H. Assegaf menyebutkan 11 (sebelas) unsur berita. Kesebelas unsur yang didasarkan pada pendapat para ahli publisitik dan jurnalistik ini adalah sebagai berikut: 1) berita haruslah termasa (baru), 2) jarak (dekat jauhnya) lingkungan yang terkena berita, 3) penting (ternama) tidaknya orang yang diberitakan, 4) keluarbiasaan dari berita, 5) akibat yang mungkin ditimbulkan berita, 6) Ketegangan yang ditimbulkan berita, 7) pertentangan (conflict) yang terlihat dalam berita, 8)seks yang ada dalam pemberitaan, 9) kemajuan-kemajuan yang diberitakan, 10) emosi yang ditimbulkan berita, 11) humor yang ada dalam berita.

Unsur berita merupakan sesuatu yang harus ada dalam sebuah berita. Kendati tidak semua unsur berita harus tergabung dalam satu berita, namun minimalnya harus ada satu atau dua unsur berita di dalamnya. Semakin banyak unsur berita yang terkandung di dalam sebuah peristiwa, kejadian, atau pendapat seseorang yang memiliki otoritas di bidangnya, maka semakin tinggi pula nilai dan kualitas berita tersebut.[]

Penulis, Staf Pengajar Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung

Tulisan Terkait:
Memahami dan Menulis Berita [4]
0 Komentar untuk "Memahami dan Menulis Berita [3]"
Back To Top