Ini Dia Tips Meminimalir Potensi Golput

Oleh Enjang Muhaemin

PEMILIH golongan putih (golput) nyaris meningkat dalam setiap momentum pesta demokrasi. Bukan hanya di negara kita, tetapi juga di negara-negara lain yang dinilai sebagai negara maju. Termasuk di Amerika Serikat.

Tingkat partisipasi pemilih di negara yang dianggap kampiun demokrasi itu, juga mengalami hal serupa. Bahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi pernah mengungkapkan, di AS, angka golput berkisar 50%.

Bila demikian, mengapa kita mesti galau kalau di negara adidaya saja tingkat golput cukup tinggi, dan partipasi pemilih terus menurun. Tentu saja ada sejumlah argumen yang memandang rendahnya partisipasi pemilih dan kian meningkatnya golput sebagai ancaman dan dinilai membahayakan.

Alasan pertama, tingginya golput dapat mengancam legitimasi demokrasi dan masa depan bangsa. Siapa pun yang terpilih dinilai tidak akan legitimate. Program-program yang dicanangkannya pun tidak akan berjalan dengan baik. Imbasnya, bila sebuah negara dikelola tanpa dukungan penuh masyarakat dikhawatirkan akan mengakibatkan pincangnya pembangunan dan mengancam masa depan bangsa dan negara.

Alasan kedua, tingginya golput akan menyebabkan kualitas demokrasi kian rendah. Ini terutama bila golput dilakukan oleh kalangan terdidik dan melek politik. Suara mereka yang mestinya tersalurkan untuk memilih para calon yang berkualitas menjadi sia-sia. Para kandidat berkualitas dan berkarakter akan tersingkir dikalahkan oleh calon-calon pragmatis dan tak memiliki kapabelitas, yang hanya mengandalkan popularitas dan bujukan berbau materi. Ujung-ujungnya, maka dapat ditebak, masa depan bangsa dan negara ada di ujung tanduk.

Alasan ketiga, tingginya golput dinilai akan mengakibatkan rendahnya tanggung jawab para pelaku golput dalam mendukung proses pembangunan pemerintahan yang berkuasa. Tingginya golput dipandang menjadi batu sandung pembangunan. Bahkan dinilai bisa menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan bangsa dan negara itu sendiri.

Tentu masih ada sejumlah argumen lain yang kemudian menjadi alasan bahayanya golput bagi demokrasi dan masa depan bangsa. Tidaklah mengherankan bila kemudian muncul aturan yang kemudian ditafsirkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), bahwa siapa saja yang mempropagandakan dan mengajak pemilih golput bisa dikenakan sanksi pidana.

Sanksinya lumayan berat, bisa dihukum 2 (dua) tahun kurungan dan denda sebesar Rp24 juta. Golput memang tidak dilarang, selama pilihan itu bersumber dari diri sendiri. Namun mengajak untuk golput dipandang sebagai tindak pidana. Tafsir ini memang masih debatibel, bahkan ditolak sejumlah pakar hukum.

Sanksi hukuman bagi para pengajak golput itu mengacu pada UU No. 8/2012, di antaranya Pasal 292 dan Pasal 308. Pasal 292 menegaskan, “Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun, dan denda paling banyak Rp24 juta.”

Adapun pada Pasal 308 ditegaskan, ”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban, dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.”

Regulasi itu mungkin saja mampu meminimalisir ajakan masif untuk melakukan golput. Namun tentunya, belum bisa menjamin golput akan menurun, bila golput itu tumbuh dari pemilih itu sendiri. Perlu ada langkah lain yang edukatif dan persuasif, sehingga masyarakat memiliki kesadaran yang lahir dari dalam dirinya tentang pentingnya menggunakan hak pilih.

Akar Masalah
Untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam momentum pesta demokrasi, bukan sikap arif bila kita hanya sekadar menyalahkan pemilih yang melakukan golput. Mereka yang memilih untuk tidak memilih tentunya memiliki sejumlah alasan. Akar masalah ini, tentunya harus menjadi acuan dalam ‘memerangi’ tingginya golput.

Pemerintah atau pun KPU mestinya memiliki data akurat mengapa mereka melakukan golput. Dari diagnosa itu baru kemudian meramu solusinya yang efektif. Tanpa langkah ini jangan berharap banyak mampu meminimalisir suara golput.

Penelitian tentang latarbelakang dan motif para pemilih golput nyaris tak muncul ke permukaan, jauh berbanding terbalik dengan jajak penjajak dan survey-survey politik yang cenderung menggiring opini publik. Penelitian yang rentan ditunggangi jauh lebih menonjol dibanding penelitian substansial yang akan lebih memperbaiki kualitas demokrasi dan masa depan bangsa, dan negara.

Bila benar bertekad ‘memerangi’ golput, pemerintah, KPU, dan lembaga lain yang memiliki komitmen bagi perbaikan demokrasi di negeri ini, sudah seharusnya sejak jauh hari melakukan penelitian. Sehingga hasilnya dapat diterapkan untuk memberikan solusi atas problem demokrasi yang muncul. Termasuk meminimalisir kian meningkatnya golput.

Tahu Diri
Partai politik juga mestinya tahu diri dan melakukan introspeksi diri. Bila tingkat golput meningkat, jangan sekadar mengkambinghitamkan dan menyalahkan pemilih. Bagaimanapun, partai politik memiliki andil cukup besar terhadap lahirya para pemilih golput.

Mengapa? Tentu ada sejumlah alasan. Di antaranya, pertama, partai politik kerap menentukan caleg dan capres hanya berdasarkan syahwat kekuasaan, bukan merujuk pada kebutuhan bangsa dan rekam jejak kandidat. Akibatnya, pemilih tidak memiliki ketertarikan untuk menentukan pilihannya. Bukan hanya kandidatnya tidak kredibel, juga tak jarang lantaran rekam jejaknya buruk. Partai politik semestinya menjagokan kandidat yang berkualitas, bukan sekadar yang bermodal popularitas.

Kedua, partai politik nyaris luput melakukan edukasi politik yang mencerdaskan. Sayangnya, alih-alih mendidik masyarakat, malah memberikan contoh buruk yang tak layak diteladani. Akibatnya, masyarakat menjadi lelah, muak, dan merasa sia-sia memilih mereka. Perilaku sebagian politisi yang kemaruk, korup, dan asusila menjadikan masyarakat apatis.

Akbar Tandjung pernah menegaskan, "Citra partai politik yang semakin memburuk, karena perilaku elite politiknya yang tidak menjalankan amanat rakyat dan malah melakukan praktik korupsi." Menurut dia, para elite partai politik harus mengubah paradigma, bahwa berpartai bukan semata-mata berorientasi pada kekuasaan, melainkan juga mengakomodasi aspirasi rakyat.

Ketiga, para politikus umumnya hanya dekat dengan masyarakat ketika menjelang pemilihan. Bila terpilih, perilaku berbanding terbalik. Bukan hanya jauh, bahkan kerap menunjukkan arogansi dan gila hormat. Tragisnya lagi, masyarakat kerap merasa dibohongi. Janji-janji manis di masa kampanye, hanya sekadar retorika dan kebohongan semata. Tak banyak ditepati. Ini tentunya membuat masyarakat kian kecewa luar biasa.

Fenomena itu layak menjadi perhatian partai politik dan para politikus. Jangan jumawa setelah terpilih, masyarakat punya hati dan perasaan. Tidak bodoh, dan gampang dikibuli. Itulah sebabnya tak perlu heran, bila kemudian masyarakat pun melakukan ‘protes’ dengan caranya sendiri. Ada yang enggan menyalurkan hak pilihnya, ada juga yang bersifat pragmatis dan materialistis.

Bila disepakati golput itu membahayakan, maka tak cukup sekadar kita mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Pemerintah dan partai politik juga perlu melakukan introspeksi diri, dan melakukan perbaikan agar semangat pemilih untuk menentukan pilihannya kembali terdongkrak.

Tak kalah pentingnya yakni mengkaji latarbelakang dan motif di balik penyebab golput, sehingga akan muncul solusi akurat untuk meminimalisirnya. [] 

Enjang MuhaeminDosen Jurnalistik di Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung

0 Komentar untuk "Ini Dia Tips Meminimalir Potensi Golput"
Back To Top