Oleh Enjang Muhaemin
PERHELATAN demokrasi untuk memilih anggota legislatif tinggal menghitung hari. Ragam strategi untuk mempromosikan diri, baik yang dilakukan partai politik maupun para kandidat wakil rakyat, tak pelak gencar digelar. Dari mulai kampanye terbuka sampai blusukan. Pamplet, baliho, dan spanduk, juga tersebar di berbagai tempat.
Tentu tak cukup sebatas itu. Sebagian mereka juga memanfaatkan media massa dan media sosial sebagai sarana mempromosikan diri. Hiruk-pikuk promosi “aing paghebatna” menjadi pemandangan tak terbantahkan. Ini dapat dimafhumi, karena mereka memang tengah berjuang keras untuk menarik simpati pemilih.
Bagaimana dengan pemilih? Terpengaruhkan? Entahlah. Tentu untuk membuktikannya perlu kajian dan penelitian yang lebih mendalam. Namun sepanjang pengamatan penulis, sepertinya tak begitu besar. Animo pemilih terlihat biasa-biasa saja. Bahkan ketika ditanya siapa yang akan dipilih dan mengapa memilihnya, sebagian besar menyatakan tidak tahu.
Mengapa bisa seperti itu? Tentu penyebabnya tidak bersifat tunggal. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Namun penyebab kebingungan para pemilih dalam menentukan pilihan dan alasan memilihnya, dapat dirujuk dari dua sebab utama. Sebab pertama, dari figur calon, dan sebab kedua dari pemilih itu sendiri.
Rekam Jejak
Penyebab yang berasal dari kandidat bisa beragam. Di antaranya, pertama, kandidat itu memang sudah tidak layak pilih. Dalam strategi bisnis, kita tahu, sehebat dan segencar apa pun promosi dan strategi, bila produknya tidak layak jual akan sulit dipasarkan. Kalau pun dipaksakan hanya melahirkan apa yang dikatakan peribahasa ‘besak dari pada tiang’. Alih-alih mengundang simpati, yang terjadi malah antipati. Alih-alih meraih pujian, malah mendapat cibiran.
Sebab kedua, bisa jadi kandidatnya memang layak pilih. Namun ini saja belum menjadi jaminan, bila saja tim sukses gagal mempromosikannya. Kegagalannya bisa disebabkan karena sejumlah faktor. Bisa karena cara mempromosikannya yang tidak tepat, bisa juga karena salah di dalam memilih media. Tapi bisa juga salah di dalam membidik sasaran.
Cara, media, dan sasaran semestinya menjadi pertimbangan ketika ‘menjual’ kandidat. Sehebat apa pun calon, bila tim sukses gagal ‘mengemasnya’, tidak tepat dalam memilih media, dan salah membidik sasarannya, maka dapat dipastikan ‘produk’ itu akan gagal terjual. Ini tentu sangat disayangkan, karena sebagai ‘produk’ berkualitas, ia seharusnya memang menjadi pilihan.
Kasus seperti itu sering terjadi. Kita melihat, sekaligus menyayangkan kegagalan itu, karena fakta itu nyata adanya. Bahkan sepertinya, sebagian besar kandidat berkualitas harus bernasib seperti itu. Pemilih tentu tidak bisa disalahkan, karena mereka tidak tahu informasi tentang kandidat yang berkualitas itu. Lantas siapa yang salah: tim sukses atau kandidat berkualitas itu? Bisa tim sukses yang gagal mengemasnya, bisa juga kandidat itu sendiri yang enggan mengeluarkan biaya ‘promosi’. Tapi juga bisa perpaduan keduanya.
Sebab ketiga, lantaran kandidat salah partai. Faktor ini tidak bisa dianggap sepele, banyak kasus seperti ini. Pemilih berpaling dari kandidat pilihannya hanya karena kandidat yang dibanggakannya itu berada di partai yang menurut pemilih itu tidak tepat. Misalnya, kandidat itu diakui bersih, bermoral, agamis, dan berilmu mumpuni. Namun karena kandidat ini mencalonkan diri dari partai yang dikenal korup, dan kemaruk, maka si pemilih akhirnya menjatuhkan pilihan pada caleg lain yang partainya lebih dipercaya.
Sekalipun harus diakui oleh si pemilih sendiri, bahwa caleg pilihan barunya itu berada di bawah standar caleg awal yang dibanggakannya itu. Jadi hati-hatilah memilih partai, bisa berabe ujungnya.
Tipologi Pemilih
Sama halnya dengan penyebab dari aspek kandidat yang beragam, penyebab dari aspek pemilih juga tidak tunggal. Beragam, tergantung pada latarbelakang dan tipologi pemilih itu sendiri. Secara global, dilihat dari latarbelakang dan proses penentuan calon anggota legislatif pilihannya, tipologi pemilih dapat dipilah menjadi 4 (empat) tipe pemilih. Keempatnya, yakni pemilih ideologis, pemilih emosional, pemilih rasional, dan pemilih pragmatis.
Pertama, pemilih ideologis. Tipe masyarakat dalam kategori pemilih ideologis ini tergolong pemilih yang mantap dalam menentukan pilihannya. Sukar diubah pandangannya, dan sulit dipengaruhi pilihannya. Ideologi seringkali menjadi satu-satunya standar ukur. Baku, dan tidak mudah berubah. Bahkan kerap tertanam prinsip, siapa pun calegnya yang penting ideologi partainya sejalan dengan ideologi pemilihnya.
Bagi tipe pemilih ideologis, kesamaan ideologi pemilih dengan ideologi partai pilihannya ibarat gula dengan manisnya. Sulit dibedakan, susah dipisahkan. Seburuk apa pun rekam jejak partai itu, dan siapa pun calegnya, nyaris tak begitu peduli. Bahkan terpaan pesan sehebat apa pun, nyaris dapat dipastikan akan mental. Tipe pemilih ideologis, tal ubahnya dinding beton, yang tak akan mudah ditembus oleh anak panah seruncing apa pun.
Mempengaruhi tipe pemilih ideologis bukan hal gampang. Butuh tenaga super ekstra yang luar biasa. Itulah sebabnya, para politikus yang berbeda ideologi dengan tipe pemilih ini cenderung mengabaikan kelompok yang satu ini. Selain yakin tidak mudah, juga membutuhkan ‘senjata’ dan ‘amunisi’ yang jauh lebih ‘hebat’. Sekalipun mereka sadar, bila saja tipe pemilih ini berhasil digalang, maka dukungannya akan bersifat lebih permanen.
Kedua, pemilih emosional. Tipe masyarakat dalam kategori pemilih emosional ini akan sangat bergantung kekuatan informasi dan terpaan pesan yang mempengaruhi afeksinya: sikap atau perasaanya. Pemilih tipe ini diduga sangat besar di negeri kita ini. Karenanya, tak perlu heran, kalau dalam pemilihan tempo hari, tiba-tiba saja ada partai baru yang berhasil mendulang suara secara menakjubkan, bahkan sekaligus mampu menggolkan capresnya menjadi RI-1.
Tipe pemilih emosional, umumnya tidak mengikatkan diri pada ideologi secara ketat. Mudah goyah, dan mudah berubah. Salah satu rujukan paling kuat tipe pemilih emosional adalah terpaan pesan media. Rujukan lainnya hanya sebagai pelengkap, baik sebagai pembanding maupun penguat. Jangan heran pula, bila tipe pemilih ini mudah berpindah hati. Partai dan capres yang dulu oleh kelompok ini dipilih, bisa jadi tak menjadi pilihannya pada pemilihan berikutnya.
Dalam memilih caleg, tipe pemilih emosional, selain cenderung menjatuhkan pilihannya pada caleg yang berasal dari partai yang berhasil membuatnya jatuh hati atau pun jatuh iba. Bisa juga karena ikatan emosional seperti ada hubungan saudara, tetangga, seprofesi, atau ikatan emosional lainnya. Rekam jejak caleg, terkadang tak begitu diperhatikan.
Ketiga, pemilih pragmatis. Tipe pemilih dalam kategori pragmatis bisa dikatakan tipe pemilih yang lebih mengutamakan keuntungan sesaat. Siapa memberikan apa, kerap menjadi standar baku di dalam menentukan caleg yang akan dipilih. Siapa yang memberi, maka itulah yang menurutnya layak dipilih. Tampaknya inilah yang menjadi prinsip tipe pemilih yang satu ini.
Pemilih pragmatis nyaris tak peduli pada bagaimana ideologi partai dari caleg yang akan dipilihnya. Tipe ini juga tidak peduli rekam jejak calon anggota legislatif yang akan dipilihnya. Di mata tipe ini, semua caleg sama, yang membedakan adalah sejauhmana caleg itu akan menguntungkan dirinya.
Sama dengan aspek ideologi, tipe pemilih pragmatis juga tidak peduli dengan aspek kedekatan emosional. Apakah caleg itu masih saudara, tetangga, atau pun seprofesi bukanlah pilihannya, selama caleg tersebut tidak menguntungkan dirinya. Maju tak gentar memilih yang bayar”, seakan menjadi ‘ideologi’ pilihannya.
Kempat, pemilih rasional. Tipe masyarakat pemilih rasional dapat dikatakan sebagai tipe pemilih yang sangat berhati-hati, tidak gampang dibujuk, juga tidak gampang menentukan pilihannya. Hati-hati, teliti, dan tidak segan meluangkan waktunya untuk menggali dan menyeleksi informasi seakurat mungkin. Ideologi, visi, misi, dan rekam jejak caleg menjadi standar baku penilaiannya.
Tipe ini, sama dengan tipe pemilih ideologis, tergolong tipe pemilih yang sulit dipengaruhi. Tipe ini umumnya mau berani menjatuhkan pilihannya, bila ia telah benar-benar menemukan calon yang menurutnya berkualitas. Kekuatan daya pikir dan kemampuan analisisnya ia optimalkan untuk menemukan dan menentukan caleg pilihannya. Bila sudah menemukan, nyaris dapat dipastikan sulit digoyahkan. Namun bila tak menemukan caleg yang dipandang layak, tipe ini tak sungkan untuk memutuskan pilihannya untuk tidak memilih.
Paparan di atas, setidaknya diharapkan dapat menjadi peta sederhana tentang siapa dan mengapa dipilih. Juga menjadi gambaran tentang tipologi pemilih di tengah masyarakat kita. Namun intinya diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam melahirkan para pemilih cerdas, yang berpikir jauh ke depan. Semoga. []
Enjang Muhaemin, Dosen Jurnalistik di Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
0 Komentar untuk "Siapa Dipilih, Siapa Memilih"