Workshop Etika Jurnalistik Kebencanaan (3) Meliput Atau Membantu?

Oleh Kanis Lina Bana

KETIKA tampil sebagai pembicara mengupas tema “Etika Media Massa Dalam Peliputan Bencana” Ahmad Arif, mengangkat Aceh sebagai setting seluruh materinya. Ia berkisah dengan sangat lugas tentang pengalamannya selama meliput bencana gempa bumi dan tsunami di tanah serambi Mekah itu. Aceh telah menyembul kesadaran nurani wartawan Kompas ini sehingga mudah tersentuh. Ia menyingkap banyak fakta, mengurai sejuta kisah.
Aceh dengan segala kedasyatan bencana. Menelan banyak korban nyawa dan meluluhlantakan peri kehidupan tanah Rencong itu telah melahirkan kesadaran dan keterbatasannya. Terutama menyadari dosa-dosa wartawan dalam liputan bencana.

Umumnya wartawan gesit dalam liputan bencana. Apalagi dipicu tugas dari pimpinan redaksi. Tak pernah memperhitungkan resiko menghadang. Yang penting bisa sampai lokasi bencana, interview sabanyak-banyaknya, mengambil gambar paling ekslusif dan melaporkan detail-detail kejadian. Itu misi yang diusung wartawan liputan bencana.

Tak jarang pula wartawan menjadi korban. Ketika ditugaskan ke lokasi bencana dengan tuntutan mendongkrak oplah wartawan dituntut membuat berita ekslusif meski menantang maut. Belum lagi perlengkapan lain. Wartawan terkadang ikut antre dan berdesak-desakan dengan para korban bencana untuk mendapat nasi bungkus di tempat penampungan. Deadline pengiriman berita menjelma menjadi garis kematian bagi wartawan itu. Tercatat 742 wartawan meninggal ketika liputan bencana.

Dan biasanya dengan enteng otoritas redaksi selalu cendrung bertanya, apakah berita bencana yang ditugaskan itu sudah dapat atau tidak. Jika belum dapat dipaksa harus dapat apa pun bentuknya. Sangat amat jarang pimpinan redaksi menanyakan apakah wartawan selamat di lokasi atau tidak. Bagaimana kekurangan dan keterbatasan selama perjalanan menuju lokasi bencana. Inilah gejala umum wartawan parasut, akibat kelalaian manajemen di tingkat pengambil kebijakan. Dosa yang dilakukan otoritas media.

Ahmad Arif mengatakan ketika berada di lokasi bencana ada tegangan yang parodoksal yang dialami wartawan. Apakah wartawan hanya meliput atau membantu korban. Sementara kondisi memungkinkan bagi wartawan untuk memberi pertolongan bagi korban. Di sini perlu ada sikap dan pesan damai yang harus dimiliki wartawan. Namun umumnya wartawan lebih memilih meliput sesuai tuntutan medianya. Memberondong korban dengan pertanyaan-pertanyaan di luar jangkau etis hanya demi kepentingan publikasi semata.

Padahal kehadiran wartawan di lokasi bencana mengambil peran sama dengan relawan lain. Bukan semata-mata kepentingan berita saja. Inilah tantangan sekaligus ajakan bagi wartawan untuk tidak saja meliput tetapi membantu. Meski meliput berarti membantu, tapi jauh lebih bermartabat memberi pertolongan menyelamatkan para korban itu dengan aksi konkret.

Dia mencontohkan. Ketika ada pemusnahan narkoba di salah sudut kota Jakarta, para wartawan diundang meliput. Tak sengaja pada saat bensin ditungkan ke dalam benda-benda yang hendak dimusnahka itu, baju salah seorang yang hadir di lokasi pemusnahan kecimprat bensin dan terbakar. Salah seorang wartawan dekat korban langsung membopong dan memberi pertolongan agar tidak terbakar.

Wartawan lain marah habis-habisan terhadap wartawan yang memberi pertolongan itu. Menurut mereka andaikan korban tidak dibopong dan membiarkan nyala api membakar sekujur tubuhnya, maka para wartawan akan mendapat gambar ekslusif atas kejadian itu. Padahal wartawan yang memberi pertolongan itu sedang melakukan tugas kemanusiaan. Andaikan dibiarkan saja mungkin saja korban yang terbakar itu akan mati hangus. Karena pertolongannya itu korban bisa diselamatkan.

Cerita ini menggugat keberpihakan wartawan. Pada posisi mana wartawan berdiri di tengah situasi bencana. Tugas wartawan bukan saja mewartakan bencana, tetapi mengingatkan akan ancaman bencana itu. Namun wartawan alpa mengingatkan hal itu. Terkadang wartawan terpecah belah akibat pertimbangan politik medianya. Misalnya, hari ini media yang satu menulis berita penyimpangan bantuan, hari berikutnya ada media menulis puja-puji kesuksesan distribusi bantuan.

Media massa juga terlambat respon dalam mengungkap korban bencana, gagal mengawal rekonstruksi dan mendorong perubahan. Wartawan akan tinggalkan lokasi bencana bersama redupnya pemberitaan tentang korban bencana itu. Gejala seperti ini, oleh Ahmad Arif, disebut dosa-dosa wartawan.

Karena itu media massa harus terpanggil mewartakan bencana dan menyelamatkan korban bencana. Sudahkah wartawan mengusung misi tersebut? Mudah-mudahan wartawan tidak terjebak dan mengulang dosa-dosa yang sama yang pernah dilakukan para pendahulunya. Semoga! (habis)

Sumber: MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia)
Tag : Artikel, Media
0 Komentar untuk "Workshop Etika Jurnalistik Kebencanaan (3) Meliput Atau Membantu?"
Back To Top