Oleh Ashadi Siregar
Untuk urusan pemilu sekarang, saya berusaha untuk mengenali dunia faktual dari setiap manusia yang diajukan oleh parpol sebagai calegnya. Jika dia sudah duduk di DPR/DPRD periode sebelumnya, dan sekarang lupa berdiri alias ngotot tetap duduk disitu, saya perlu mengingat-ingat apa saja yang sudah dikerjakannya, sejauh mana signifikan pada dunia ideal yang saya bayangkan. Kalau orang bersangkutan tidak melakukan apa pun yang relevan, segera dia saya singkirkan dari alam pikiran saya.
Untuk tingkat lokal, ada yang pernah saya baca berita (fakta dirinya) tentang peranannya yang signifikan bagi publik melalui aktivitas sebagai anggota DPRD. Tapi sayangnya yang bersangkutan tidak ada dalam daftar untuk dapil permukiman saya. Sedang caleg yang masih kepingin tetap duduk-duduk di Senayan sana, rasa-rasanya tidak ada yang meninggalkan kesan bahwa dia telah berbuat yang signifikan bagi publik di daerah sini atau dalam bidang yang saya geluti. Dia baru muncul di dapil hanya selama kampanye.
Dengan begitu saya harus menujukan perhatian pada caleg yang belum pernah di “office” itu sebelumnya. Tentunya hanya yang saya kenal perlu saya nilai: apa yang pernah dilakukan dalam kehidupan publik? Semoga akan saya temukan aktivis sosial yang keberadaannya signifikan bagi publik.
Kalau tidak pernah aktif secara publik, artinya mungkin sebagai pelaku profesi bersifat teknokratis (tidak punya peran melampaui profesi teknis), atau bahkan tidak punya peran publik apa pun jua sebelumnya? Yah, setidaknya perlu saya kenal karakternya.
Inilah kriteria paling sederhana yang saya bayangkan. Dalam negasi: Jika dia laki-laki, bukan penganut poligami. Bagi saya dia tamak dan pelit, sebab mendapat 2 atau 3 perempuan (kalau berbini 2 atau 3), sementara hanya memberikan separuh atau sepertiga dirinya (kalau bisa adil) untuk masing-masing isterinya. Jika perempuan, saya menolak caleg yang mau menjadi isteri kedua atau seterusnya. Sebab telah rela didominasi laki-laki di satu pihak dan menyakiti perempuan lain pada pihak lain, bagaimana saya akan percaya bahwa dia akan membela pihak tertindas? Sebaliknya akan saya pujikan perempuan yang tegas menceraikan suaminya yang poligami.
Simpel banget ya? Habis saya tidak dapat menilai karakter, sebab saya tidak mungkin membuat tes kepribadian pada para caleg itu. Jadi yang teraktualisasi secara sosial sajalah yang bisa dijadikan kriteria.
Setingkat di atas itu, akan saya identifikasi caleg yang aktual dan potensial berorientasi multikultural, karena dunia ideal yang bayangkan memerlukan aktor publik semacam itu. Jadi vote saya berikan pada beliau. Negasinya, bisa disimpulkanlah.
Kalau sama sekali tidak saya kenal? Lha, bagaimana saya mempercayakan suara saya, kendati nilai vote-nya cuma satu, saya tidak rela memberikannya. Untuk memberikan pada parpol? Biar hangus deh. Terlebih pada parpol yang kampanyenya besar-besaran di media, khususnya televisi. Mending saya berikan vote saya kepada parpol yang sedemikian kerenya, sampai tidak punya caleg di dapil tempat saya mencontreng. Ini sedekah politik namanya.
Begitulah wangsit yang saya dapatkan. Jadi tidak golput ‘kan? Saya mendengar Majelis Ulama Indonesia. Sungguh.
Sumber: Ashadisiregar's Weblog
Untuk tingkat lokal, ada yang pernah saya baca berita (fakta dirinya) tentang peranannya yang signifikan bagi publik melalui aktivitas sebagai anggota DPRD. Tapi sayangnya yang bersangkutan tidak ada dalam daftar untuk dapil permukiman saya. Sedang caleg yang masih kepingin tetap duduk-duduk di Senayan sana, rasa-rasanya tidak ada yang meninggalkan kesan bahwa dia telah berbuat yang signifikan bagi publik di daerah sini atau dalam bidang yang saya geluti. Dia baru muncul di dapil hanya selama kampanye.
Dengan begitu saya harus menujukan perhatian pada caleg yang belum pernah di “office” itu sebelumnya. Tentunya hanya yang saya kenal perlu saya nilai: apa yang pernah dilakukan dalam kehidupan publik? Semoga akan saya temukan aktivis sosial yang keberadaannya signifikan bagi publik.
Kalau tidak pernah aktif secara publik, artinya mungkin sebagai pelaku profesi bersifat teknokratis (tidak punya peran melampaui profesi teknis), atau bahkan tidak punya peran publik apa pun jua sebelumnya? Yah, setidaknya perlu saya kenal karakternya.
Inilah kriteria paling sederhana yang saya bayangkan. Dalam negasi: Jika dia laki-laki, bukan penganut poligami. Bagi saya dia tamak dan pelit, sebab mendapat 2 atau 3 perempuan (kalau berbini 2 atau 3), sementara hanya memberikan separuh atau sepertiga dirinya (kalau bisa adil) untuk masing-masing isterinya. Jika perempuan, saya menolak caleg yang mau menjadi isteri kedua atau seterusnya. Sebab telah rela didominasi laki-laki di satu pihak dan menyakiti perempuan lain pada pihak lain, bagaimana saya akan percaya bahwa dia akan membela pihak tertindas? Sebaliknya akan saya pujikan perempuan yang tegas menceraikan suaminya yang poligami.
Simpel banget ya? Habis saya tidak dapat menilai karakter, sebab saya tidak mungkin membuat tes kepribadian pada para caleg itu. Jadi yang teraktualisasi secara sosial sajalah yang bisa dijadikan kriteria.
Setingkat di atas itu, akan saya identifikasi caleg yang aktual dan potensial berorientasi multikultural, karena dunia ideal yang bayangkan memerlukan aktor publik semacam itu. Jadi vote saya berikan pada beliau. Negasinya, bisa disimpulkanlah.
Kalau sama sekali tidak saya kenal? Lha, bagaimana saya mempercayakan suara saya, kendati nilai vote-nya cuma satu, saya tidak rela memberikannya. Untuk memberikan pada parpol? Biar hangus deh. Terlebih pada parpol yang kampanyenya besar-besaran di media, khususnya televisi. Mending saya berikan vote saya kepada parpol yang sedemikian kerenya, sampai tidak punya caleg di dapil tempat saya mencontreng. Ini sedekah politik namanya.
Begitulah wangsit yang saya dapatkan. Jadi tidak golput ‘kan? Saya mendengar Majelis Ulama Indonesia. Sungguh.
Sumber: Ashadisiregar's Weblog
0 Komentar untuk "KARENA BELAJAR ILMU KOMUNIKASI"