Ketika Televisi Menjadi Bencana

“Televisi memang mempunyai kebebasan untuk menyiarkan segala macam realitas, tapi kebebasan itu harus digabungkan dengan tanggung jawab. Jika tidak, mereka layak dicap sebagai sumber “bencana”, baik dalam pengertian konotatif ataupun denotatif.”

Sehari setelah program acara “Silet”ditayangkan pada 7 November 2010, sebanyak 1.128 aduan masuk ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut Ketua KPI, ini menjadikannya sebagai rekor tertinggi dari berbagai kasus aduan masyarakat yang masuk KPI. Dalam tayangan tersebut, diulas, salah satunya, akan muncul bencana Merapi yang lebih besar. Maka tidak mengherankan jika tayangan “Silet” menimbulkan keresahan di masyarakat.

Bahkan mendorong pengungsi melakukan eksodus ke tempat-tempat yang jauh dari radius 60 kilometer sebagaimana disebutkan presenter. Atas alasan itu pulalah KPI menjatuhkan sanksi kepada RCTI dengan menghentikan penayangan “Silet”hingga status “awas”Merapi dicabut.

Sebelumnya, Jaringan Relawan Merapi menyampaikan surat terbuka kepada KPI, memprotes tayangan televisi yang berlebihan dan meresahkan pengungsi. KPI pun memanggil redaksi untuk membahas persoalan tersebut. Masyarakat masih menunggu apa hasil pertemuan KPI dengan pihak redaksi televisi. Tapi semuanya berharap pemberitaan tentang Merapi tidak berlebihan, dalam arti mendramatisasi keadaan, sehingga menimbulkan efek ketakutan di masyarakat dan menimbulkan gelombang eksodus pengungsi yang lebih besar.

Profesionalisme Salah satu prinsip dasar jurnalisme profesional adalah obyektivitas. Namun perlu dipahami bersama bahwa obyektivitas bukan hanya persoalan balance dan netralitas. Obyektivitas mencakup pula akurasi, yang sayangnya dalam liputan televisi hal ini sering diabaikan atau sengaja diabaikan. Ketika salah satu stasiun televisi mengabarkan bahwa awan panas telah mencapai radius 20 kilometer dan menimbulkan kepanikan yang luar biasa di masyarakat, reporter tersebut telah menegasikan prinsip akurasi ini. Ini karena ternyata yang dimaksudkan awan panas adalah abu vulkanik yang memang sudah sampai di radius itu, dan bahkan lebih. Ini terjadi karena reporter televisi tidak melakukan cross-check di lapangan. Penyebutan narasumber juga acap kali diabaikan, sehingga pemirsa tak lagi bisa melacak dari mana data atau informasi tersebut didapatkan.

Kesalahan semacam ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal. Pertama, reporter memang tidak mempunyai cukup pengetahuan dan skill memadai bagaimana menempatkan jurnalisme dalam setiap pemberitaannya. Sehingga ia tidak paham arti penting akurasi dalam pemberitaan. Ia barangkali tidak pernah membaca buku-buku jurnalistik betapa pentingnya akurasi itu. Padahal Joseph Pulitzer selalu mengingatkan pentingnya akurasi ini.”Accuracy, accuracy, accuracy,”begitu menurutnya. Kita bisa berdebat tentang gaya liputan dan lain sebagainya, tapi tidak ada satu pun yang bisa diperdebatkan berkenaan dengan error.

Ada tiga hal yang harus dilakukan oleh jurnalis untuk mengejar akurasi ini (Mencer, 2000), yakni (1) selalu melakukan check and recheck terhadap sumber berita, fakta, atau peristiwa yang hendak dituliskan dalam pemberitaan; (2) selalu melakukan koreksi, termasuk dalam hal bahasa; dan (3) melakukan observasi langsung.

Reporter televisi sepertinya melupakan ketiga hal di atas dalam liputan Merapi dan mungkin juga liputan-liputan bencana lainnya. Ini terjadi karena barangkali tingkat kompetisi yang sangat tinggi, sehingga acuan pokok adalah kecepatan (timelines). Namun mereka lupa bahwa timelines tidak ada gunanya jika berita yang disiarkan mempunyai akurasi rendah.

Tontonan Terlepas dari rendahnya kualitas repor ter dalam menyajikan liputan ben cana, televisi memiliki sifat dasar yang se betulnya memang “merusak”. Televisi memang memberikan informasi, tapi ia tidak lebih dari tabung kaca yang darinya segala sesuatu ditonton. Singkatnya, segala sesuatu yang hadir dalam televisi, apakah ia bersifat fiksi ataupun nonfiksi, akan selalu menjadi “tontonan”dan karena itu harus “layak”dan “enak”ditonton. Sifat dasar inilah yang sebenarnya bisa menjelaskan mengapa realitas media yang hadir di televisi hampir selalu membawa unsur dramatis. Bahkan, dalam menghadirkan realitas bencana yang memprihatinkan itu, televisi membubuhi, menambah, dan jika perlu membelokkan realitas sosial yang ada, sehingga realitas yang muncul dalam televisi menjadi lebih bersifat dramatis.

Ada dua alasan mengapa televisi mempunyai kecenderungan semacam ini. Pertama, televisi mempunyai sifat khas sebagai medium audio-visual. Kekuatan televisi ada pada gambar, sehingga muncul kesan bahwa menjadi dramatis adalah baik. Maka, dalam menyiarkan bencana, unsur dramatis akan senantiasa ditempatkan pada skala prioritas. Inheren dalam unsur dramatis ini adalah eksploitasi atas perasaan emosional. Maka realitas bencana yang ha dir dalam medium televisi selalu akan menyisir hal-hal yang membangkitkan emosionalitas dengan menonjolkan, pada waktu bersamaan, magnitude sebuah peristiwa.

Ironisnya, hal ini diperkuat oleh asumsi bahwa penonton menyukai tayangan-tayangan dramatis yang memilukan dan mengundang iba. Sehingga reporter menjadi tampak kejam karena menghilangkan dimensi empati, yang mestinya mengemuka dalam setiap liputan bencana. Karena itu, tidak berlebihan kiranya jika seorang reporter dengan tanpa empati menanyai seorang ibu yang baru saja kehilangan balitanya,”Bagaimana perasaan Ibu?”

Alasan kedua, dan ini paling rusial, dua aspek ekonomi yang dimiliki televisi (Fiske, 1990). Televisi mengandung dua aspek ekonomi, yakni ekonomi finansial dan budaya. Pada satu sisi, program televisi mem punyai nilai tukar yang dijual kepada pengiklan, sedangkan di sisi lain program acara di cerna dan dimaknai oleh kha layak. Siaran bencana yang dramatis akan dimaknai kha layak dan karena pemaknaan itulah mereka bersikap.

Keseluruhan dimensi di atas, dalam konteks Indonesia, berjalin menjadi satu se hingga membuat tayangan televisi menjadi demiki an buruk. Penonjolan aspek ekonomi yang sangat kuat dalam bentuk hiperkomersialisasi, persaing dengan ren an yang tidak sehat, berjalin dengan rendahnya kualitas jurnalis, membuat tayangan televisi berkualitas rendah. Akibatnya, fungsi tontonan lebih menonjol dibanding fungsi informasi, dan fungsi ekonomi lebih menonjol dibanding fungsi sosial. Saatnya bersikap Buruknya liputan bencana Merapi yang meresahkan masyarakat harus menjadi pelajaran bagi stasiun televisi. Jika tidak, akan merugikan stasiun televisi itu sendiri karena masyarakat yang gerah akan cepat tersulut untuk melakukan gerakan sosial yang merugikan. Untuk itu, sudah saatnya, para pengelola televisi mulai menggabungkan unsur freedom dengan tanggung jawab. Televisi memang mempunyai kebebasan untuk menyiarkan segala macam realitas, tapi kebebasan itu harus digabungkan dengan tanggung jawab. Jika tidak, mereka layak dicap sebagai sumber “bencana”, baik dalam pengertian konotatif ataupun denotatif.

Dimuat dalam Koran Tempo Edisi 13 November 2010. Lihat sumber asli http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/13/Opini/krn.20101113.217951.id.html
Tag : Artikel, Televisi
0 Komentar untuk "Ketika Televisi Menjadi Bencana"
Back To Top