Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf [1]
Mengapa dalam kerja jurnalistik, akurasi sangat penting lebih dari sekadar kecepatan berita? Media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik melalui informasi. Apalagi dalam situasi krisis seperti bencana alam. Jika informasi yang disampaikan media tidak akurat, dampak utamanya adalah malpraktik informasi yang muaranya selalu merugikan masyarakat.
Menyaksikan liputan erupsi Merapi di televisi kita, alih-alih memeroleh informasi yang akurat, masyarakat lebih banyak disuguhi tayangan yang menampilkan sisi dramatisasi bencana. Dramatisasi dan pengambilan gambar-gambar jarak dekat erupsi yang mengerikan di layar kaya melebihi citra sesungguhnya tentang Merapi di lokasi kejadian. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi yang semula tenang justru terprovokasi oleh informasi masyarakat di daerah lain yang panik menyaksikan tayangan televisi dan mengatakan betapa bahayanya Merapi sebagaimana citra yang mereka tangkap di layar kaya.
Akurasi pemberitaan Merapi di televisi menjadi sorotan karena ketidakpekaan reporter salah satu stasiun televisi swasta. Penyebutan “awan panas” yang menyembur 20 km dari Merapi Sabtu dinihari (1 November 2010) sempat menimbulkan kepanikan massal. Karena ketidakmampuan mendeskripsikan dengan baik, fakta abu vulkanik yang terbawa angin disampaikan oleh reporter di lapangan sebagai awan panas. Media dalam posisi seperti ini berpotensi menjadi pembawa teror informasi karena liputan yang disajikan menimbulkan trauma, chaos, bahkan paranoia. Ironisnya, setelah kesalahan fatal pemberitaan tersebut, tak pernah terdengar permintaan maaf dari pihak televisi yang bersangkutan.
Sementara itu dari citra visual, gambar-gambar isak tangis, ratapan, kepanikan, lalu-lalang kendaraan yang mengungsi, sampai ekspos besarnya angka-angka jumlah korban seolah menjadi prestasi liputan jika ditampilkan berulang-ulang. Mayat kaku terpapar awan panas yang ditemukan di tengah puing-puing sisa bangunan yang diterjang awan panas atau mayat yang dijajar tim SAR dalam kantung jenazah juga disorot sedemikian rupa dengan maksud untuk menguras emosi pemirsa.
Saat erupsi Merapi sedikit mereda dan masyarakat mulai tenang, televisi tak berhenti beraksi, cerita tentang awan Petruk, mitos meninggalnya Mbah Maridjan, dialog Ponimin dengan orang misterius yang konon jelmaan sultan Agung, di-blow up sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu mistik. Semua ini memberi kesan mencekam. Apalagi masyarakat yang tingkat literasi medianya masih awam.
Jika demikian, apakah media harus mengalihkan perhatian dan memberitakan salah satu aspek saja, misalnya berita yang baik-baik saja untuk menghibur korban bencana? Tentu saja tidak. Pilihan-pilihan fokus berita tersebut adalah keniscayaan dalam dunia jurnalistik. Penayangan berita mana yang dipilih melibatkan banyak agenda. Mulai dari kepentingan jurnalistik murni, bisnis (ekonomi) hingga kepentingan lain, seperti hasrat narsistik, kendaraan politik atau sekadar pencitraan diri (image building) lembaga. Ini memperlihatkan bagaimana di ranah sosial yang amat terbatas, kuasa modal bermain dalam liputan bencana. Jika dipandang dari segi hak publik untuk memperoleh banyak informasi secara bebas, tentu sah-sah saja televisi memilih fokus pemberitaan seperti yang diinginkannya. Persoalannya orientasi kepada publik harus tetap dinomorsatukan, tentunya dengan mengindahkan norma dan etika penyiaran.
Selain itu, dalam pemberitaan bencana, paling tidak reporter harus memperhatikan beberapa hal, misalnya, apakah dalam liputan bencana tersebut disiratkan langkah-langkah antisipasi bencana berikutnya? Apakah ada upaya untuk memberikan kesan tenang namun tetap waspada? Apakah cukup suara-suara yang mewakili stakeholder utama, seperti BPPTK, PVMBG, pemerintah, atau masyarakat? Sudahkan pencitraan tentang kondisi masyarakat sekitar bencana yang tenang, tetap beraktivitas normal, namun tetap waspada terhadap bencana ditampilkan? Kemana nomor darurat yang harus dihubungi? Pada kondisi seperti apa warga yang agak jauh harus mengungsi atau tidak perlu mengungsi? Jalan aman mana yang tidak padat saat evakuasi, dan sebagainya.
Tak kalah pentingnya, televisi harus terus-menerus menyediakan informasi yang dapat menjadi pegangan masyarakat saat berhadapan dengan bencana alam. Informasi akurat dari televisi akan menjadi semacam peringatan dini (early warning system) bagi masyarakat, yang mengingatkan bahwa kita berada di wilayah yang rawan bencana, dan harus bersiap setiap saat untuk menghadapinya.
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia – Yogyakarta.
Intisari tulisan ini disampaikan dalam Talkshow Analisis Media UNISI FM, 5 November pkl 9.00-10.00 WIB
Bisa diakses juga lewat blog:
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/11/05/malpraktik-liputan-merapi-di-televisi/
Akurasi pemberitaan Merapi di televisi menjadi sorotan karena ketidakpekaan reporter salah satu stasiun televisi swasta. Penyebutan “awan panas” yang menyembur 20 km dari Merapi Sabtu dinihari (1 November 2010) sempat menimbulkan kepanikan massal. Karena ketidakmampuan mendeskripsikan dengan baik, fakta abu vulkanik yang terbawa angin disampaikan oleh reporter di lapangan sebagai awan panas. Media dalam posisi seperti ini berpotensi menjadi pembawa teror informasi karena liputan yang disajikan menimbulkan trauma, chaos, bahkan paranoia. Ironisnya, setelah kesalahan fatal pemberitaan tersebut, tak pernah terdengar permintaan maaf dari pihak televisi yang bersangkutan.
Sementara itu dari citra visual, gambar-gambar isak tangis, ratapan, kepanikan, lalu-lalang kendaraan yang mengungsi, sampai ekspos besarnya angka-angka jumlah korban seolah menjadi prestasi liputan jika ditampilkan berulang-ulang. Mayat kaku terpapar awan panas yang ditemukan di tengah puing-puing sisa bangunan yang diterjang awan panas atau mayat yang dijajar tim SAR dalam kantung jenazah juga disorot sedemikian rupa dengan maksud untuk menguras emosi pemirsa.
Saat erupsi Merapi sedikit mereda dan masyarakat mulai tenang, televisi tak berhenti beraksi, cerita tentang awan Petruk, mitos meninggalnya Mbah Maridjan, dialog Ponimin dengan orang misterius yang konon jelmaan sultan Agung, di-blow up sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu mistik. Semua ini memberi kesan mencekam. Apalagi masyarakat yang tingkat literasi medianya masih awam.
Jika demikian, apakah media harus mengalihkan perhatian dan memberitakan salah satu aspek saja, misalnya berita yang baik-baik saja untuk menghibur korban bencana? Tentu saja tidak. Pilihan-pilihan fokus berita tersebut adalah keniscayaan dalam dunia jurnalistik. Penayangan berita mana yang dipilih melibatkan banyak agenda. Mulai dari kepentingan jurnalistik murni, bisnis (ekonomi) hingga kepentingan lain, seperti hasrat narsistik, kendaraan politik atau sekadar pencitraan diri (image building) lembaga. Ini memperlihatkan bagaimana di ranah sosial yang amat terbatas, kuasa modal bermain dalam liputan bencana. Jika dipandang dari segi hak publik untuk memperoleh banyak informasi secara bebas, tentu sah-sah saja televisi memilih fokus pemberitaan seperti yang diinginkannya. Persoalannya orientasi kepada publik harus tetap dinomorsatukan, tentunya dengan mengindahkan norma dan etika penyiaran.
Selain itu, dalam pemberitaan bencana, paling tidak reporter harus memperhatikan beberapa hal, misalnya, apakah dalam liputan bencana tersebut disiratkan langkah-langkah antisipasi bencana berikutnya? Apakah ada upaya untuk memberikan kesan tenang namun tetap waspada? Apakah cukup suara-suara yang mewakili stakeholder utama, seperti BPPTK, PVMBG, pemerintah, atau masyarakat? Sudahkan pencitraan tentang kondisi masyarakat sekitar bencana yang tenang, tetap beraktivitas normal, namun tetap waspada terhadap bencana ditampilkan? Kemana nomor darurat yang harus dihubungi? Pada kondisi seperti apa warga yang agak jauh harus mengungsi atau tidak perlu mengungsi? Jalan aman mana yang tidak padat saat evakuasi, dan sebagainya.
Tak kalah pentingnya, televisi harus terus-menerus menyediakan informasi yang dapat menjadi pegangan masyarakat saat berhadapan dengan bencana alam. Informasi akurat dari televisi akan menjadi semacam peringatan dini (early warning system) bagi masyarakat, yang mengingatkan bahwa kita berada di wilayah yang rawan bencana, dan harus bersiap setiap saat untuk menghadapinya.
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia – Yogyakarta.
Intisari tulisan ini disampaikan dalam Talkshow Analisis Media UNISI FM, 5 November pkl 9.00-10.00 WIB
Bisa diakses juga lewat blog:
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/11/05/malpraktik-liputan-merapi-di-televisi/
0 Komentar untuk "Malpraktik Liputan Merapi di Televisi"