Konten Tayangan dan Tipikal Media Penyiaran

Oleh Enjang Muhaemin

Program penyiaran yang ada di televisi, baik nasional maupun lokal, hanya sekitar 20 persen yang positif, 30 persen bermasalah, dan 50 persen mendidik tidak, jelek juga tidak.

Dadang Rahmat Hidayat
[PR, 10 November 2010]

Membaca pernyataan yang dikemukakan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), yang ketika itu dipegang Dadang Rahmat, seperti dikutip di atas, tentunya memberikan peta menarik untuk menelusuri lebih jauh potret tipikal media penyiaran dan realitas kehidupan masyarakat kita, yang sangat akrab dengan si layar kaca ini. Peta konten media penyiaran yang disodorkan KPI layak diapresiasi. Kendati tidak begitu jelas, namun lumayan ada sedikit cahaya terang di tengah kegelapan.

Kita mafhum, televisi bukan lagi barang mewah, yang hanya dimiliki segelincir orang. Juga bukan barang langka yang hanya ada satu dalam satu rumah. Kini, satu kamar telah lengkap dengan satu pesawat televisi. Bahkan hebatnya, siaran televisi juga sudah bisa diakses, baik melalui telepon genggam maupun melewati internet. Bukan hanya itu. Tak di kota tak di desa, televisi pun telah menjadi ‘santapan’ sepanjang hari. Ia menjadi media super primadona melebihi media lainnya. Internet sekalipun, sebagai media tercanggih di abad ini, tampaknya masih belum mampu menandingi si ‘kotak ajaib’ ini.

Menyimak realitas seperti itu, maka keberadaan media televisi tak bisa dianggap remeh. Dampak tayangan televisi tak bisa dianggap angin lalu. Sebagai media audio-visual, daya persuasi media televisi masih jauh lebih digjaya dibanding media lainnya. ‘Pesan-pesan’ yang ‘dikhutbahkan’ media televisi, bukan hanya didengarkan, dan diresapi, tapi juga diikuti dan diaplikasikan. Daya pengaruhnya luar biasa perkasa, jauh dibanding pesan-pesan agamawan yang dikhutbahkan di atas mimbar.

Karena itu, tidaklah mengherankan bila pakar komunikasi dan peneliti televisi di Amerika Serikat, George Gerbner, menyebut televisi sebagai agama masyarakat Industri. Televisi telah menggeser agama-agama konvensional. Khutbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar dibanding jamaah agama mana pun. Rumah ibadatnya tersebar di seluruh pelosok bumi; ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama-agama yang pernah ada. [Jalaluddin Rakhmat, 1998:53]

Gerbner sepertinya ingin menunjukkan efek keperkasaan media televisi yang luar biasa hebatnya, sampai-sampai yang menjadi pembandingnya pun bukan lagi media, tetapi agama. Saya yakin, siapa pun orangnya yang mengaku memeluk agama, pasti akan marah kalau dituding telah menggeser agama yang dianutnya, digantikan oleh televisi sebagai agamanya. Semua nyaris dapat dipastikan menolak mentah-mentah bila dituduh telah menjadikan televisi sebagai agamanya.

Namun, bila mau jujur, disadari atau pun tidak, sebagian masyarakat kita telah memposisikan televisi tak ubahnya agama. Apa yang dikhutbahkan televisi, bukan hanya diamini, tetapi juga ditaati dan diikuti. Bukan hanya sebagai sumber informasi, tetapi juga telah menjadi sumber referensi dan pedoman kehidupan. Perlahan namun pasti, pesan-pesan agama kian tersisih, tergilas derasnya ‘ayat-ayat’ televisi yang disuntikan setiap waktu.

Pisau Bermata Dua

Kegundahan, kegelisahan, dan kerisauan berbagai kalangan terkait pengaruh buruk media televisi sebenarnya telah lama tumbuh. Bukan hanya disadari pemerintah, kalangan agamawan, pendidik, dan akademisi, tetapi juga berbagai elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap moral dan karakter bangsa. Berbagai upaya telah banyak dilakukan dan dioptimalkan. Namun hasilnya memang masih jauh dari harapan.

Lahirnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di pusat dan daerah, juga tidak terlepas dari upaya meminimalisir pengaruh buruk tayangan televisi. Lebih jauhnya menjadikan media televisi sebagai media penyiaran yang memiliki tanggung jawab dalam membangun karakter bangsa. Namun, lagi-lagi, hasilnya belum optimal. Beragam sanksi yang dijatuhkan, belum membuat jera para pengelola media penyiarannya.

Tapi tentu saja, peran dan sumbangsih KPI, agamawan, pendidik, dan berbagai elemen masyarakat tak bisa kita nafikan. Layak dihargai, dan diacungi jempol. Karena, tanpa upaya yang mereka lakukan, efek buruk media penyiaran akan jauh lebih parah. Jauh lebih destruktif, jauh lebih meruksak.

Media televisi tak ubahnya pisau bermata dua. Bisa positif, bisa negatif. Bisa berdampak baik, bisa berpengaruh buruk. Ini sangat tergantung pada siapa dan untuk apa. Kalau televisi dimiliki dan dikelola oleh mereka yang semata mencari profit atau keuntungan, maka program dan isi tayangan pun akan diarahkan ke target tersebut. Berdampak baik atau buruk tak lagi menjadi pertimbangan. Tak peduli yang disuntikkan itu obat atau racun, bila itu menguntungkan dianggap bukan masalah.

Tipikal pemilik dan pengelola media penyiaran seperti ini jelas akan sangat membahayakan. Tipikal ini layak mendapat sanksi berat. Bila memungkinkan, bukan hanya dicabut izin siarnya, tetapi juga dipidanakan. Dosanya amat besar: meracuni ribuan, bahkan jutaan anak bangsa. Moral dan karakter bangsa hancur, dan ujung-ujungnya bisa melenyapkan eksistensi bangsa itu sendiri.

Tipikal kedua, adalah tipikal para pemilik dan pengelola media penyiaran, yang berwatak kucing. Santun ketika dipantau, nakal ketika tak dimonitor. Wait and see, menjadi ciri khasnya. Tipikal jenis ini sedikit lebih baik dibanding tipikal yang pertama tadi. Dan tipikal semacam inilah yang rata-rata ada di kita, di bumi pertiwi ini. Untuk tipikal ini, yang kita butuhkan adalah mengoptimalkan pengawasan yang bersifat kontinyu, tak boleh lengah sebentar pun. KPI bisa ‘menggigitnya’ bila ia nakal, agamawan dan elemen masyarakat lainnya bisa ‘meneriakinya’ bila ia berbuat salah. Tanpa monitoring, tipikal jenis ini sama jahatnya dengan tipikal pertama.

Tipikal ketiga adalah para pemilik dan pengelola media penyiaran yang lebih mengutamakan pembangunan akhlak dan karakter bangsa dibanding mengejar keuntungan. Sayang, jumlahnya tidak banyak, amat sedikit. Sayangnya lagi, media penyiaran sejenis ini tak banyak ‘pengikutnya’, dan pesan-pesannya pun tak banyak diikuti. Tipikal media penyiaran yang satu ini, tak membutuhkan pengawasan yang ekstra ketat, yang dibutuhkan adalah men-support untuk lebih mampu mengemas pesan-pesannya secara apik dan menarik dengan tanpa harus mengorbankan moral dan karakter bangsa.

Tak ada jalan lain, bila kita sepakat dan bertekad kuat untuk membangun watak dan karakter bangsa yang beradab, maka pemerintah dan segenap masyarakat harus melakukan pengawasan yang ekstra ketat. Menurunnya aduan masyarakat ke KPI yang sangat drastis, harus dilakukan pengkajian lebih dalam. Jangan-jangan bukan karena tayangan-tayangan televisi kita jauh lebih baik, tapi justru karena apatis, putus asa, dan tak ambil pusing. []

Penulis, Staf Pengajar Jurnalistik di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
0 Komentar untuk "Konten Tayangan dan Tipikal Media Penyiaran"
Back To Top