Jurnalisme (bukan) Ghibah

Oleh Enjang Muhaemin


TERKAIT dibukanya jurusan Ilmu Jurnalistik, teman seprofesi saya, sempat mengutarakan protes tetangganya, sebut saja Fulan. Ia berujar, “UIN itu perguruan tinggi Islam yang bertujuan mencetak para sarjana muslim. Tapi, mengapa sih harus membuka jurusan Jurnalistik?”
Kira-kira, begitulah inti protes yang disampaikan tetangga teman saya itu.  “Ini bahaya,” katanya lagi, “ bisa kontraproduktif. Nanti, sarjana-sarjananya bukan lagi terjun berdakwah, malah gemar meng-ghibah.
Protes Fulan itu, tentu tidak dapat disalahkan. Sebagai muslim yang baik, ia khawatir betul bila sarjana-sarjana jurnalistik ini, nantinya akan menjadi para penyebar keburukan orang, para pembuka aib, dan menjadi agen ghibah yang jelas-jelas dilarang Islam.
Ia tahu persis bahwa ghibah itu haram, dan dosanya juga amat berat.  Bahkan, dalam Al-Hujuraat ayat 12, Allah mengibaratkan orang yang melakukan ghibah, tak ubahnya orang yang memakan bangkai saudaranya.   
Di dalam Sunan Abu Dawud, juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga. Dengan kuku-kukunya itu, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang melakukan ghibah, serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.”
Ghibah memang berbahaya, karenanya Islam melarang orang melakukannya. Berita-berita yang Fulan baca di koran, lihat di televisi, dan ia dengar dari radio, dipandang penuh dengan ghibah. Bahkan sebagiannya lagi, ada yang masuk dalam kategori fitnah. Berita yang berwujud dakwah, bila tidak dikatakan tidak ada, jumlahnya jauh amat sedikit. Karena itu, tidak usah heran, bila ia resah, jangan-jangan UIN akan terjerumus melahirkan para pengghibah, para pembuka aib orang, para penyebar isu, dan sejumlah aktivitas lainnya yang masuk dalam kelompok ghibah dan fitnah.  
 Ghibah, Fitnah, dan Dakwah
Dalam terminologi Islam, ada yang disebut fitnah, ghibah, dan dakwah. Dua yang pertama dijawab Rasulullah SAW dalam sebuah percakapan dengan sahabat, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah ra.
Ghibah, apakah itu?” tanya seorang sahabat pada Rasulullah SAW. “Ghibah adalah memberitakan kejelekan orang lain!” Jawab Rasul. “Kalau keadaannya memang benar?” “Jika benar, itulah ghibah. Jika tidak benar, itulah dusta!” tegas Baginda Rasul.
Menyebarkan keburukan atau aib orang lain dan kalau keburukan itu memang betul adanya disebut ghibah. Menyebarkan informasi dusta tentang keburukan orang lain disebut fitnah. Dosanya keduanya amat berat, dan tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Bahaya keduanya biasa berdampak luar biasa. Bukan hanya akan menimbulkan jatuhnya kehormatan dan harga diri yang dighibah atau difitnah, tapi juga akan memunculkan kebencian, dendam, dan permusuhan.
Itulah sebabnya Islam melarang para pemeluknya melakukan keduanya. Yang diperintahkan Islam adalah terminologi yang ketiga, yakni dakwah.  Apa itu dakwah?  Syekh Ali Mahfudz menegaskan, dakwah adalah mendorong manusia berbuat kebaikan, dan mencegah manusia berbuat munkar. Dalam “Membumikan” Al-Qur’an,  M. Quraish Shihab berpendapat, dakwah adalah seruan, atau ajakan kepada keinsafan, atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.
Sejarah telah membuktikan, dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW telah berhasil mengantarkan umat manusia ke tingkat peradaban yang luar biasa.  Sukses mengubah situasi, dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang. Yuhriju-hum min ash-zhulumat ila an-nur.  
Mengubah satu situasi ke situasi lain yang jauh lebih baik adalah tugas yang kita emban. Dalam Alqur’an, Allah menegaskan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” (QS.An-Nahl:125).  Hikmah dimaknai sebagai perkataan yang tegas dan benar, yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Mudah Terpeleset
Bila ghibah memunculkan permusuhan, dan fitnah menimbulkan kemarahan, maka dakwah justru melahirkan kemaslahatan. Islam melarang ghibah, dan fitnah,  tapi Islam memerintahkan dakwah. Jurnalisme yang benar, bukan jurnalisme ghibah, juga bukan jurnalisme fitnah. Yang benar adalah jurnalisme dakwah. Ini yang diperintahkan Islam. Dan ini pula yang diharapkan lahir dari jurnalistik UIN Bandung.
Tugas yang diemban seorang jurnalis memang tidak ringan, juga tidak mudah. Disebut demikian, karena selain mengemban tugas yang berat, juga mudah terpeleset ke wilayah ­ghibah dan fitnah. Untuk tidak jatuh pada dua wilayah ini, seorang jurnalis harus super hati-hati. Selain harus piawai melacak data, memiliki wawasan yang luas, kemampuan menulis yang mumpuni, para jurnalis juga dituntut memahami dan mematuhi kode etik jurnalistik. 
Seorang jurnalis, tak ubahnya seorang juru dak dakwah, yang mengemban tugas mendorong manusia untuk berbuat baik, dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf, nahyi munkar).  Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Namun dalam realitasnya, tidak sedikit jurnalis yang justru jatuh terpeleset pada wilayah ghibah, dan fitnah. Karena itu, tidaklah mengherankan bila kemudian muncul kegelisahan, bukan hanya dari masyarakat awam, tetapi juga dari kalangan jurnalis yang sudah malang melintang di dunia media. Ini seperti yang dirasakan H. Budhiana Kartawijaya dan H. Wakhudin, sehingga dari keduanya lahir paradigma pemikiran tentang jurnalisme inspiratif dan jurnalisme mabrur.
Jurnalisme, seperti dikatakan Farid Gaban, pada dasarnya adalah serangkaian kaidah atau prinsip etik, dan metode untuk menggali kebenaran atau informasi serta menyampaikannya kepada khalayak. Kaidah etik berisi hal-hal yang boleh dan tak boleh dilakukan seorang jurnalis, yang biasanya lazim  disebut Kode Etik Jurnalistik. Adapun metode jurnalistik berisi tata cara penggalian kebenaran/ informasi, dan menyajikannya kepada pembaca/pemirsa.
Baik gagasan jurnalisme inspiratif maupun jurnalisme mabrur, yang dilatarbelakangi fenomena kian bertambahnya berita-berita yang tidak mendidik, bahkan sebagiannya berbau fitnah atau ghibah, adalah otokritik bagi para jurnalis, untuk kembali memposisikan jurnalisme sebagai paradigma penegakan amar ma’ruf nahyi munkar dengan cara yang benar, tepat, dan akurat. Juga memperhatikan dampak ikutan atas muatan berita yang dipublikasikan.
Jurnalisme bukanlah serangkaian kaidah dan kegiatan untuk menjatuhkan, mencederai kehormatan, tapi sebagai serangkaian upaya untuk memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik.  Inilah yang dalam pemahaman saya sebagai jurnalisme dakwah. Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya,” kata Rasulullah SAW. “Jika tidak mampu, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Namun, jika masih juga tidak mampu, maka hendaklah mengubahnya dengan hatinya….”
Mulia, tapi berat. Itulah tugas yang diemban para jurnalis dalam perspektif jurnalisme dakwah.  Selain harus mendidik, juga mesti mencerahkan. Ia bukan hanya sekadar terjun menggali data, dan mengungkap fakta, lalu mempublikasikannya, tetapi jauh di balik itu dilandasi spirit suci:  amar ma’ruf nahyi munkar, bukan amar munkar nahyi ma’ruf.  
Berita-beritanya terpilih dan terseleksi dengan ketat. Bukan berita esek-esek, juga bukan berita ecek-ecek.  Tabayyun menjadi prinsip utama bersama prinsip etik lainnya seperti objektif, berimbang, dan benar, bukan informasi dusta atau bohong. Yang tidak kalah pentingnya, mempertimbangkan secara masak unsur kemaslahatannya. Jurnalis yang baik akan mampu membedakan mana dakwah, mana ghibah, dan mana fitnah. ***  

Penulis, Staf Pengajar Jurnalistik di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
0 Komentar untuk "Jurnalisme (bukan) Ghibah"
Back To Top