Oleh Enjang Muhaemin
WAWANCARA jurnalistik adalah proses tanya jawab yang dilakukan wartawan kepada narasumber dalam upaya menggali data, fakta, dan infomasi sebuah peristiwa, opini atau gagasan.
Apa yang ditanyakan wartawan di dalam wawancara tentu saja sesuatu yang menarik dan penting dipublikasikan, disiarkan, atau ditayang untuk publik media. Sesuatu yang tidak menarik, juga sesuatu yang tidak penting, tidak layak ditanyakan kepada narasumber.
Kita tahu, teknik wawancara belum lazim digunakan hingga akhir abad ke-19. Bahkan, yang melakukannya, juga banyak dicemooh. Namun, pada abad ke-20 bisa dikatakan, pencapaian karya jurnalistik yang hebat banyak dihasilkan dari hasil wawancara. Kini dapat dikatakan nyaris tak ada satu berita pun yang bukan hasil wawancara.
Singkatnya, wawancara yang dulu dicemooh, kini malah menjadi primadona.
Di abad kini, memang harus diakui, bahwa wartawan wajib menguasai teknik wawancara jurnalistik. Tak ada tawar-menawar, juga tak ada toleransi. Pendeknya sudah menjadi harga mati yang layak dikuasai siapa pun yang mengaku dirinya sebagai wartawan.
Padahal dulu, ketika jurnalisme mulai lahir, berita yang digali wartawan tidak membutuhkan informasi yang digali berdasarkan teknik wawancara. Tapi lebih banyak sebagai hasil observasi wartawan, yang salah satunya dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP).
Pengamatan dan hasil observasi wartawan seperti itulah yang kemudian ditulis menjadi sebuah berita. Kalangan jurnalis, juga publik media ketika itu menilai berita seperti itulah dianggap sebagai berita yang berkualitas dan bernilai.
Sebaliknya berita yang digali dengan teknik wawancara dipandang sebagai berita sampah dan berita isapan jempol. Data dan informasi yang terkandung di dalamnya dianggap sebagai bualan narasumber semata.
Karena itu tidaklah mengherankan, bila ketika itu, teknik wawancara tidak digunakan wartawan untuk menggali data dan informasi. Jangankan dengan narasumber biasa, wawancara dengan narasumber penting sekalipun tetap dianggap sebagai bualan dan isapan jempol semata.
Wawancara Jadi Primadona
Tapi, kini sebaliknya yang terjadi. Sebuah berita yang tidak dilengkapi dengan hasil wawancaralah yang justru dipandang sebagai berita sampah, berita subjektif, dan berita akal-akalan wartawan.
Kalangan media, juga publik media sekarang menilai berita berkualitas adalah berita yang dilengkapi dengan hasil wawancara. Walhasil, teknik menggali data dengan wawancara kini menjadi telah menjadi primadona media.
Bahkan tragisnya lagi, ada yang beranggapan, bahwa berita tanpa hasil wawancara, bukanlah berita. Ini tentunya tidak tepat, karena tanpa hasil wawancara pun sebuah data dan fakta yang dilaporkan seorang wartawan adalah sebuah berita.
Laporan pandangan mata tentang jalannya pertandingan sepakbola, misalnya, adalah salah satu contohnya. Jadi, bisa saja dan tentunya boleh, sebuah berita seperti itu tanpa adanya wawancara dengan narasumber. []
Enjang Muhaemin, Staf Pengajar Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
0 Komentar untuk "Teknik Wawancara: Dulu Dicemooh, Kini Primadona"